Wednesday, February 3, 2010

"Tiada berita seharga nyawa"

Teringat saat beberapa waktu lalu saya melakukan peliputan tentang pebunuhan wartawan radar bali AA Prabangsa. terlepas dari dugaan adanya masalah uang, kisah Prabangsa setidaknya menjadi hal yang bisa kita cermati bersama.

betapa segelintir orang, demi menutupi ulah biadab mereka, nyawa manusia seolah tidak ada harganya lagi. semua seolah merasa talah menjadi Tuhan, sehingga merasa berhak mencabut nywa orang lain. kadang aku sering bertanya pada diri sendiri, sebenarnya apa yang ada dipikiran mereka????

Apakah dengan menghilangkan nyawa orang lain, lantas semua masalah yang menjadi halangan itu terselesaikan? atau justru melahirkan masalah baru. sure, we all know d answer.

kembali ke polemik pembunuhan terhadap Prabangsa, yang ditenggarai disebabkan oleh pemberitaan yang di tulis oleh korban terkait korupsi di dinas pendidikan di Banglih, Bali. dugaan adanya korupsi setidaknya oleh tiga elemen, yaitu Bupati, kepala dinas pendidikan Banglih, dan pengawas proyek yaitu Susrama sendiri yang kini telah ditahan oleh Polda Bali.

adalah alaimiah, jika setiap pihak yang melakukan pelanggran merasa takut jika pelanggran yang dilakukan terbongkar. akan tetapi, menurut saya, tidaklah wajar jika kita harus merugikan orang lain untuk menutupi kejahatan kita.

jadi teringat buku the kite runner, ketika ayah husin mengatakan, hal yang paling jahat adalah mencuri. jika kau berbohong, maka kau mencuri hak seseorang untuk mendapat kan kebenaran. jika kau membunuh, maka kau mencuri seseorang dari keluarganya dan orang2 yang dicintai dan mencintainya.

berbicara mengenai pemnuhan terhadap AA Prabangsa dan motif yang menyelubunginya, maka kasus pembunuhan terhadaop wartawan bukanlah hal yang asing sebenarnya. terlebih lagi jika itu kasus2 pembunuhan terhadap wartawan di medan perang.

suatu ketika saya pernah membaca (lupa sumbernya apa), dikatakan bahhwa dalam medan perang meskipun konvensi jeneva mengatakan bahwa wartawan adalah pihak yang tidak boleh diserang saat pertempuran berlangsung.

akan tetapi jika kita berada pada medan perang, biasnya kia akan embedded pada salah satupihak, yang itu artinya menjadi ancaman bagi pihak yang lain. karena dikhawatirkan pemberitaan kita akan memihak pada pihak yang kita tempel tersebut. solusinya, pihak lainnya tentu berpikir untuk menghindari pemberitaan yang negatif dengan menyerang wartawan yang berada di pihak lawan.

Committe to Protect Journalist/CPJ melaporkan setidaknya 64 wartawan terbunuh saat bertugas selama 2007. Tahun tersebut dianggap sebagai tahun paling mematikan bagi insan pers dalam lebih dari satu dekade terakhir. so bad....

Nah, dalam melakukan peliputan, memang patut kita akui terkadang kita lupa pada batasan dimana seharusnya kita berhenti melangkah dan sepatutnya memutuskan untuk berdiam atau mundur perlahan. entah itu naluri, keasyikan, atau obsesi, yang terkadang menjadikan kita melangkah melewati batas itu dan lupa pada risiko yang menghadang.

saya teringat kembali pada tulisan meuthia hafidz dalam bukunya 168 jam dalam sandera, ketika dia bercerita saat meliput di Iraq dan saat dia tanpa pikir panjang memegang serpihan bom yang baru saja meledak, meskipun ia sudah diperingatkan untuk tidak menyentuhnya, karena serpihan tersebut masih berpotensi meledak.

judul tulisan ini, saya ambil dari tulisan yang pernah saya baca pada baju seorang teman yang juga wartawan : "Tiada berita seharga nyawa".... tapi harus kita akui, tiada nyawa yang bisa mengalahkan nikmatnya mendapatkan kepuasan ekslusif dalam pemberitaan.........

Asalkan satu hal.... kita tak terjebaj dalam KAPITALISME PERS!!!!

No comments: