Monday, May 7, 2012

Menjadi Saksi Revolusi Libya

Kembali membuka laptop dengan tujuan menulis blog…. Well, setidaknya punya waktu buat mengisi blog yang udah lama hampa gak pernah dijenguk. Cerita saya mulai dengan berbagi pengalaman sedikit tentang Libya saat berkesempatan meliput jalannya revolusi bersenjata di Negara yg saat itu masih dipimpin sang dictator Muammar Khadafy. Revolusi Libya dipengaruhi oleh revolusi di dua Negara tetangganya. Ya, revolusi di Negara-negara arab akarnya adalah revolusi Tunisia atau lebih dikenal dengan sebutan revolusi jasmin yang bermula dari aksi bakar diri Boazizi sebagai bentuk protes terhadap tindakan kesewenang2an aparat di Tunisia. Dari sini, revolusi jasmine lahir dan pada 14 januari 2011 berhasil menggulingkan presiden berkuasa dan juga dictator selama 30 tahun berkuasa Zein al Abidin Ben Ali (gak tau dia temenan ama Ben 10 gak ya ;p). Revolusi di Tunisia memicu lahirnya revolusi di negeri magreb lainnya, Mesir yang berhasil menggulingkan sang dictator Hosni Mobarak. Revolusi mesir berpusat di Tahrir
Square, meski berhasil menggulingkan Mubarak dari tahtanya, revolusi di negeri pyramid ini memakan korban hingga ratusan orang tewas. Langkah perjalanan saya dari Tunisia bergerak ke Mesir untuk kemudian memasuki tanah Libya. Perjalanan ke Libya kami mulai pada malam hari dai kota Cairo, Mesir, tujuannya agar kami bisa tiba di perbatasan shalom pada pagi hari. Seingat saya kami tiba di perbatasan sekitar pukul Sembilan pagi, kemudian setelah mendapatkan stamp keluar dari mesir di visa kami, kami pun melangkah memasuki kawasan musaad di Libya. Pas masuk Musaad, suasana berbeda sudah mulai terasa dan terlihat, saya sudah bisa meihat mesyarakat sipil memegang senjata api. Dan saat masuk ke Negara ini, tak satu orang pun ada yang kami kenal, sejumlah orang Libya menawarkan untuk mengantarkan kami ke kota Benghazi dengan biaya yang cukup mahal, beberapa ratus dolar. We have no choice, bahkan kami tidak tahu apakah kami bisa percaya pada orang-orang ini atau tidak. Kemampuan bahasa arab saya sangat terbatas dan sopir inipun tidak bisa berbahasa Inggris, alhasil saya hanya bisa bilang Benghazi… Benghazi…. Perjalanan ke Benghazi cukup panjang, sempat ragu ini yang nganterin beneran gak ya, niatnya baik apa gak, tapi saya cuma bisa berdoa sambil sedikit ngomong dalam bahasa arab yng sangat dasar, seperti nama kamu siapa? Apa kabar? dll. Akhirnya, kami pun tiba di Benghazi pada sore hari, dan langsung singgah di sebuah hotel di pusat kota, saya lupa nama hotelnya, yang jelas harga kamar di hotel ini pun menjadi sangat mahal akibat perang. Ahh… benar kata orang2 bahwa perang mengakibatkan semuanya menjadi mahal. Petualangan di negeri penghasil minyak ketiga di daratan Afrika ini pun bermula, mengelilingi kota Benghazi saya bisa melihat senjata api dimana2, senjata anti pesawat terbang pun Nampak berkeliaran. Oh my…. Rasa takut itu kayaknya udah tergantikan oleh rasa penasaran yang sangat. Warga biasa kerap menembakkan senjata api entah untuk mengekspresikan duka ataupun suka, smua menggunakan senjata, bahkan kadang dengan posisi yang agak miring dan sangat berpotensi salah tembak. Selain di Benghazi saya juga beberapa kali pergi menyaksikan pertempuran di garis depan, nampaknya masyarakat Libya memang sudah terlalu muak dengan kediktator rezim Khadafy yang berkuasa lebih dari 40 tahun lamanya. Semua orang menyuarakan kebenciannya dengan penguasa yang kini memimpn negeri ini dan tanpa peduli mereka bisa mengoperasikan senjata api yang dimiliki atau tidak mereka maju saja terus ke garis depan pertempuran. Double risk buat saya dan juga rekan-rekan jurnalis lain, selain bisa saja menjadi target sasaran pasukan Khadafy kami juga berpotensi menjadi korban salah tembak pasukan oposisi yang tak terlatih ini. Tak hanya itu yang menambah miris adalah, saya bisa melihat anak-anak mulai terbiasa dengan kekerasan, disana sini saya melihat anak2 bermain perang2an bahkan saya sempat menjumpai anak saya rasa umurnya tak lebih dari 10 tahun menenteng senjata api di punggungnya. Fiuh… Kalau sekarang saya pikir2 lagi, kayaknya apa yang sudah saya lakukan pada saat itu termasuk gila, pertama kali ke garis depan pertempuran yang saat itu berada dia antara kota Ajdabiya dan Brega kami bahkan bisa melihat beberapa ratus meter di depan kami mobil yang mengepulkan asap akaibta terkena serangan pasukan Khadafy. Terlebih saat itu alat komunikasi tidak berfungsi akibat di block oleh pemerintah, hanya berfungsi untuk menelpon nomor local dan tidak bisa menelpon dan menerima telpon di luar Libya (inipun karena di hack), satu2nya alat komunikasi kami adalah telpon satelit. Lengkap sudah derita ini rasanya. Pertama kali mendengar suara tembakan awalnya sempat kaget namun kemudian terbiasa, hingga akhirnya saya pun sudah terbiasa mendengar suara rudal anti pesawat terbang. Pergerakan kecil-kecilan revolusi Libya bermula pada 15 Februari di depan gedumg medan mahkamah di pusat kota Benghazi, dan membesar pada 17 Februari sehingga kemudian tanggal ini dijadikan tonggak bermulanya revolusi. Namun geliat revolusi ditanggapi sanga dictator dengan mengangkat senjata untuk membubarkan demonstran, korban pun mulai berjatuhan. Hal ini memancing dunia Internasional untuk campur tangan, terlebih Libya sarat akan kepentingang sehingga menurut saya ini juga yang menjadikan Negara-negara barat cepat campur tangan dalam krisis ini. Bandingkan saja dengan Yaman bahkan Syiria yang sudah melakukan pembantaian terhadap rakyatnya sendiri, dunia Internasional lamban bertindak, perkaranya? Tak ada minyak seperti Libya. 19 Maret 2011, atau sekitar satu bulan sejak revolusi PBB menerapkan zona larangan terbang di Libya dan NATO pun memulai aksinya. Bertema melindungi masyarakat sipil NATO mulai menyerang militer Khadafy yang berniat memusnahkan gelombang pemberontakan di negerinya. Namun aksi NATO tak hanya melahirkan korban dari pihak Khadafy, tapi juga dari kelompok oposisi, karena beberapakali NATO melakukan salah tembak. Pernah suatu ketika NATO salah tembak saat itu kami temgah berada di garis depan pertempuran, sauna seketika menjadi ramai, bahkan pasukan oposisi saat itu mulai melakukan serang balasan ke NATO dengang melepaskan rudal anti pesawat terbang dari pusat kota AJdabiya yang sudah seperti kota mati. Posisi saya? Terjebak di tengah kota ini, dan memilih untu tetap disini melihat pergerakan yang ada, meski saya dan 2 orang rekan lainnya tau betul bahwa ini berarti kami telah menempatkan diri kami pada situasi yang benar-benar salah dan berbahaya. Masuk ke Libya pada masa itu saja sudah berbahaya, dan menempatkan diri dalam posisi ini membuat semuanya sangat riskan. Masing-masing kami memang punya nyawa satu, namun smua beradau dengan rasa penasarang untuk menyaksikan sendiri perjuanga rakyat menggulingan tirani. Sore hari, kami akhirnya memutuskan meninggalkan kota Ajdabiya dan menjumpai sejumlah wartawan lain di kawasan dekat kota Benghazi, yang kemudian menyadarkan kami bahwa tadi di tengah pusat Ajdabiya kami menjadi satu2nya jurnalis yang tertinggal disana. Karena memang berkali-kali pasukan oposisi meminta kami untuk mundur dan mengarah ke kota Benghazi namun kami acuh. Mereka selalu berteriak maut… maut… untuk mengingatkan kami bahwa kalau kami tetap tinggal, kami bisa saja mati. Thanks God kami selamat saat itu, meski kami menyadari keberuntungan serupa takkan berulang. Kejadian tersebut mengakibatkan sedikitnya 5 orang pasukan oposisi tewas, dan NATO menolak meminta maaf dengan alasan keadaan di lapangan sangat cair, dan saat itu mereka tidak mengetahui pasukan oposisi menggunakan tank di antara kota Ajdabiya dan Brega, NATO mengira itu adalah tank militer Khadafy. Tak kurang dari dua minggu saya berada di Libya, menyaksikan pertempuran di garis depan, perubahan kebebasan yang dirasakan masyarakat di kota Benghazi khususnya, dan merasakan hangatnya sambutan masyarakat Libya kepada kami, terlebih saat saya selalu mengatakan kepada mereka bahwa saya berasal dari Indonesia, Negara muslim terbesar di dunia. Begitu banyak kesan dan kenangan yang selalu saya ingat, bagaimana perjuangan rakyat pun akhirnya berhasil melengserkjan rezim dictator. Dan kini, negeri ini mencoba beradaptasi dengan demokrasi, tak akan mudah pastinya terlebih berbagai permasalahan lain akan mencuat, banyaknya suku yang berbeda2 di Libya dan juga senjata api yang tersebar luas di tangan masyarakat sipil. Kedua permasalahan ini akan menjadi pee r besar bagi pemimpin selanjutnya. Akankah Libya menjadi lebih baik? Pertanyaan ini menurut saya perlu waktu lama untuk bisa mendapatkan jawabannya, perjalanan negeri di tepi laut mediterania ini masih sangat panjang, namun saya hanya bisa berdoa semoga Libya bisa menerima demokrasi dan menrapkannya tanpa harus ada korban jiwa lagi. Semoga kebebasan berekspresi rakyat masih bisa terus dilakukan, semua senjata api bisa kembali diamankan dari tangan masyarakat sipil, dan semoga rakyatnya bisa menyongsong masa depan tanpa kekerasan, doa yang sama yang selalu saya selipkan untuk ibu pertiwi tercinta. Semoga damai selalu tercipta di bawah langit semesta.

No comments: