Thursday, May 15, 2008

How important is CSR?

Pertanggungjawaban Sosial Perusahaan atau biasa dikenal dengan corporate social responsibility (CSR), merupakan isu yang berkembang sejak beberapa dekade lalu. Wibisono (2007), isu CSR bermula sejak tahun 1960-an atau pasca perang dunia II, dimana tuntutan untuk pengentasan kemiskinan dan keterbelakangan mendorong berkembangnya sektor produktif dari masyarakat. Selain itu, kesadaran bahwa bumi memiliki keterbatasan daya dukung menjadikan isu kepedulian atas lingkungan menjadi sorotan pada dasawarsa 1970-an. Terobosan besar dalam CSR terjadi pada tahun 1997 oleh John Elkington melalui konsep 3P (profit, people, dan planet). Konsep tersebut dituangkan dalam bukunya yang berjudul “Cannibals with Forks, the Triple Bottom Line of Twentieth Century Business”, dimana menurutnya jika perusahaan ingin tetap eksis, maka yang harus diperhatikan bukan hanya profit, tetapi juga kontribusi positifnya kepada masyarakat (people) serta turut aktif dalam menjaga kelestarian lingkungan (planet).
Selain itu, komitmen berbagai negara untuk menciptakan sustainable development menjadikan CSR sebagai bagian yang tak terhindarkan. Brundland commissions pada tahun 1987 telah mengeluarkan definisi sustainable development sebagai pembangunan pada saat ini yang dilaksanakan tanpa menimbulkan kerugian bagi generasi yang akan datang (UNEP. 2007). International Federation of Accountants (2005) menyebutkan sustainable development berhubungan dengan ekonomi, lingkungan, dan isu sosial (karyawan, pendidikan, dan budaya), dengan mempertemukan antara kebutuhan manusia pada saat ini dengan masa yang akan datang tanpa merusak alam (bumi). Sehingga, konsep sustainable development atau pembangunan berkelanjutan ini menuntut pengakuan akan hak manusia untuk hidup berdampingan dengan berbagai sumberdaya yang telah disediakan alam. Hal ini kemudian ditegaskan lagi oleh The World Business Council for Sustainable Development (1998) yang menyatakan CSR sebagai bagian yang terintegrasi dengan kosep sustainable development.
European Comission (2002), CSR merupakan sebuah konsep dimana perusahaan mengintegrasikan kepedulian sosial dan lingkungan ke dalam operasi bisnisnya dan interaksi dengan stakeholder secara sukarela. Perusahaan mengungkapakan informasi sosialnya tidak hanya untuk kepentingan ekonomisnya, tetapi juga disebabkan adanya tekanan dari karyawan, pelanggan, aktivis sosial ataupun public (Choi, 1998). The World Business Council for Sustainable Development (1998) menekankan bahwa CSR setidaknya berhubungan dengan hak asasi manusia, hak-hak karyawan, perlindungan terhadap lingkungan, keterlibatan masyarakat, hak-hak stakeholders, hubungan dengan suplier, serta adanya monitoring ataupun penilaian atas pelaksanaan CSR itu sendiri.
Di sisi lain, lingkungan hidup sebagai bagian dari CSR mendapat perhatian yang sangat besar dalam beberapa waktu terakhir seiring dengan mencuatnya isu pemanasan global (global warming). Pemanasan global merupakan sebuah fenomena yang disebabkan oleh naiknya suhu rata-rata di atmosfer, permukaan laut, dan daratan. Ini mengakibatkan naiknya air laut, erosi, banjir, perubahan cuaca yang ekstrim, turunnya kualitas dan kuantitas air, serta mengancam kesehatan manusia (Susanta dan Hari Sutjahjo, 2007; http://www.nwri.ca; http://www. ucsusa .org). Perusahaan menjadi pihak yang mendapat sorotan paling keras terhadap berbagai perubahan alam yang terjadi. Wilson (2007), perusahaan membuang sedikitnya lima juta gallon racun per hari ke laut, dalam bentuk bensin, acrylantrile, merkuri, logam, dan lainnya. Pada akhirnya hal ini mengakibatkan tercemarnya air laut dan mengurangi kualitas air. Selain itu, perusahaan juga merupakan penyuplai pencemaran udara yang berasal dari asap pabrik. Konferensi PBB mengenai perubahan iklim United Nation Climate Change Conference (UNCCC) mempunyai banyak pesan, dua diantaranya menyelamatkan bumi dengan membangun kesadaran lingkungan dan mencegah kerusakan lingkungan lebih parah. Karenanya perusahaan dituntut memperhatikan aspek lingkungan dalam usahanya, jika tidak ingin ditinggalkan konsumen (Sanda, 2007). Selain itu, komitmen 54 negara dan 33 organisasi untuk menerbitkan pedoman standar tanggung jawab sosial yang diberi nama ISO 26000 pada tahun 2010 nanti, membuktikan bahwa kepedulian masyarakat dunia akan hal ini semakin meluas.
Sehubungan dengan CSR juga pada awal tahun 1990-an, Indonesia menjadi pusat perhatian dunia setelah The New York Times dan berbagai media lainnya mengungkapkan penyimpangan praktik perburuhan/ketenagakerjaan oleh beberapa suplier Nike di Indonesia. Akibatnya, produk ini mengalami boikot oleh konsumen. Penyimpangan lainnya, pencemaran lingkungan yang berasal dari limbah perusahaan pernah dilakukan oleh PT. Indorayon di Porsea Sumatera Utara, dimana kemudian berakibat pada diberhentikannya operasional perusahaan oleh pemerintah setempat. Beberapa tahun terakhir, Indonesia juga dihebohkan oleh semburan lumpur panas PT. Lapindo Brantas yang telah menimbulkan berbagai kerusakan lingkungan, menggangu kehidupan masyarakat sekitarnya baik secara fisik maupun mental, hingga tidak berproduksinya beberapa usaha kecil disekitarnya dikarenakan tempat usaha yang tenggelam oleh lumpur. Hal ini tidak hanya mengakibatkan berhentinya operasi perusahaan, tetapi juga sorotan dari publik di seluruh dunia, khususnya dalam hal tanggungjawab perusahaan atas dampak yang ditimbulkannya, terlebih lagi permasalahan ini belum terselesaikan hingga sekarang.
Hal tersebut menunjukkan begitu pentingnya peran CSR. Porter dan Mark R. Kramer (2006) menyebutnya sebagai prioritas yang tidak terhindarkan untuk para pemimpin bisnis di setiap negara. CSR tidak hanya terkait dengan biaya sosial, paksaan dari lingkungan, ataupun kegiatan amal, CSR bahkan bisa menjadi sumber kesempatan, inovasi, dan keunggulan kompetitif. Produk dan situasi kerja yang aman tidak hanya mampu menarik perhatian konsumen, tetapi juga akan mengurangi biaya kerusakan ataupun kecelakaan kerja.
CSR merupakan kunci dalam meningkatkan daya saing dan produktivitas bisnis dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan tenaga kerja. Perusahaan yang inovatif telah menyadari bahwa trend CSR mengalami peningkatan, dan mereka juga sudah menemukan cara untuk memasukannya dalam praktik dan proses bisnis mereka. Mengimplikasikan konsep CSR berarti menciptakan sumber inovasi serta merupakan sebuah usaha untuk mengotrol corporate image. Perusahaan-perusahaan yang telah menerapkan CSR terbukti mengalami peningkatan laba (Pekkarinen, 2006). Tidak adanya tanggungjawab sosial dan lingkungan akan menciptakan biaya tambahan sehubungan untuk menjamin kepatuhan terhadap regulasi, dimana biaya tersebut akan ditambahkan pada biaya saat ini (Cormier dan Magnan dalam Raar, 2004).
Morley (2004), kepedulian stakeholders dan customers mengenai dampak sosial dan lingkungan atas produk yang mereka gunakan mengalami peningkatan. Hal ini menuntut perusahaan agar bisa memaksimalkan return jangka panjang, dengan mengurangi dampak negatif usahanya. Hal ini diperkuat dengan perkembangan akan kesadaran masyarakat dunia terhadap pentingnya pelestarian lingkungan dalam satu dekade terakhir yang mengalami peningkatan sangat pesat. Kemudian diikuti pula dengan meningkatnya green consumerism, yaitu gerakan konsumen yang menginginkan produk yang layak dan aman, serta ramah lingkungan (environmental friendly). Pada akhirnya, ramah lingkungan tidak lagi bermakna meningkatnya biaya pengolahan limbah, akan tetapi justru efisiensi dalam proses produksi (Wibowo, 2002). Dengan demikian, saat ini CSR telah menjadi bagian dari strategi bisnis utama. Perusahaan harus memperhatikan etika bisnis, reputasi dan risiko manajemen, kekuatan konsumen dan tekanan pasar, kepuasan para investor, manajemen mata rantai supplier, sehingga akhirnya perusahaan mau tidak mau harus mengadopsi dan menerapkan kebijakan CSR (Rachman, 2004).
Anggraini (2006), tuntutan akan transparansi, akuntabilitas, dan tata kelola perusahaan yang baik, menuntut perusahaan untuk mengungkapkan informasi atas aktivitas sosialnya. Dengan pengungkapan informasi sosial perusahaan, maka masyarakat dapat mengetahui sejauh mana pelaksanaan aktivitas sosial perusahaan, sehingga hak masyarakat untuk hidup aman, kesejahteraan karyawan, dan keamanan mengkonsumsi makanan dapat terpenuhi. Akuntansi konvensional selajutnya menuai berbagai kritikan, karena dianggap belum mampu mengakomodir kepentingan masyarakat secara luas, sehingga pada akhirnya menghadirkan konsep akuntansi yang dikenal sebagai Akuntansi Pertanggungjawaban Sosial. Akuntansi konvensional cenderung mengabaikan pihak di luar stockholders dan bondholders. Padahal dalam Pedoman Standar Akuntansi Keuangan telah disebutkan bahwa pemakai informasi keuangan perusahaan meliputi investor, karyawan, pemberi pinjaman, pemasok dan kreditur usaha lainnya, pelanggan, pemerintah, dan masyarakat. Survey global yang dilakukan oleh The Economist Intelligence Unit menunjukkan bahwa 85% eksekutif senior dan investor dari berbagai organisasi menjadikan CSR sebagai pertimbangan utama dalam pengambilan keputusan (Warta Ekonomi dalam Sayekti dan Ludovicus Sensi Wondabio, 2007). Karenanya, sudah sepatutnyalah akuntansi dapat mengakomodir kepentingan berbagai pihak, diantaranya dengan melakukan pengungkapan atas tanggungjawab sosial perusahan.
Pada dasarnya di Eropa dan Amerika, sejak tahun 1970-an telah banyak dilakukan penilaian secara statistik mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi pengungkapan informasi sosial dan lingkungan oleh perusahaan. (Kokubu et al. 2001). Gray et al. (1995), CSR telah menjadi subjek dalam penelitian di bidang akuntansi dalam dua dekade terakhir. Meskipun demikian, peneltian tentang praktik pegungkapan tanggung jawab sosial, (Hackston dan Markus J. Milne, 1996), terpusat di Amerika Serikat, Inggris, dan Australia, hanya sedikit penelitian yang di negara lain seperti Jerman, Kanada, Jepang, Selandia Baru, Malaysia, Indonesia dan Singapura.
Sedikitnya riset dalam hal ini di Indonesia, sehingga tidak mengherankan jika belum ada peraturan yang mewajibkan pengungkapannya secara detail. Dapat dilihat dalam Standar Akuntansi Keuangan (SAK) yang belum mewajibkan perusahaan untuk mengungkapkan informasi sosialnya secara lengkap dan spesifik (SAK No. 1, paragraf 09):
Perusahaan dapat pula menyajikan laporan tambahan seperti laporan mengenai lingkungan hidup dan laporan nilai tambah (value added statement), khususnya bagi industri dimana faktor-faktor lingkungan hidup memegang peranan penting dan bagi indutsri yang menganggap pegawai sebagai kelompok pengguna laporan yang memegang peranan penting.
Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa pengungkapan atas hal-hal sosial ataupun lingkungan masih bersifat sukarela (voluntary). Sehingga kesadaran untuk mengungkapkan aktivitas sosial dalam laporan tahunan pun masih sangat rendah di Indonesia. Departemen Keuangan (2006) melaporkan bahwa perusahaan yang mengungkapkan tanggung jawab sosial perusahaannya dalam laporan tahunannya hanya sebanyak 40%. Kepedulian terhadap tanggung jawab sosial pun dianggap masih sangat kurang di Indonesia, sehingga perlu ditingkatkan di masa yang akan datang.
Bertolak dari hal tersebut di atas, peneliti ingin mengetahui praktik pengungkapan informasi sosial pada perusahaan di Indonesia, sebagai wujud tanggung jawab sosial yang dilakukan. Selain itu, peneliti juga ingin meneliti mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi perusahaan untuk mengungkapkan informasi tersebut.

No comments: